Mataram,(lombokupdatenews) – Terkait Kasus Dana Siluman Pokir DPRD NTB Divisi Kebijakan Publik , Hukum dan Kriminal Fahrurrozi alias Ojhie ikut bicara, menurutnya bahwa dalam kasus tersebut jika postur kasusnya Apakah penerimaan uang oleh anggota DPRD dalam skema :
Pokir dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana suap atau
gratifikasi?
Apakah seluruh anggota DPRD yang menerima uang wajib
dipidana meskipun uang telah dikembalikan?
Menjawab hal tersebut Ojhie Kawal NTB berpendapat bahwa bila melihat dasar hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12B dan 12C UU Tipikor. Dimana mengacu pada Yurisprudensi MA No. 700K/Pid.Sus/2014 dan No.225K/Pid.Sus/2015.
Sehingga menurut Ojhie menyampaikan analisa bahwa kasus Suap dan gratifikasi adalah delik formil. Tindak pidana dianggap selesai ketika uang diterima, tanpa mempersoalkan apakah uang digunakan atau dikembalikan. Pengembalian uang tidak menghapus tindak pidana.
“Kemudian Pemberian uang kepada anggota DPRD terkait penyisipan program Pokir jelas memenuhi unsur Pasal 5 ataS Pasal 12B UUT Tipikor karena kan Ada penerima (anggota DPRD selaku penyelenggara negara”jelasnya.
Ditambahkan Ojhie selanjutnya dalam kasus pikir siluman ini Ada pemberian uang, dan Ada hubungan jabatan, dimana publik melihat Ada maksud mempengaruhi kebijakan.
Sehingga tidak dilaporkannya uang tersebut ke KPK dalam 30 hari (Pasal12C) mengakibatkan pemberian otomatis dikategorikan sebagai gratifikasi yang dianggap suap.
“Ini Secara normatif, semua anggota DPRD yang menerima uang wajib dipidana karena suap merupakan delik dua pihak:
pemberi dan penerima. Penerima tetap bersalah meskipun uang
dikembalikan.”terangnya lagi.
Untuk itu Kawal NTB menyimpulkan beberapa hal yakni Penerimaan uang dalam skema Pokir memenuhi unsur tindak
pidana suap/gratifikasi berdasarkan UU Tipikor.
Semua anggota DPRD yang menerima uang wajib dipidana karena unsur tindak pidana telah terpenuhi dan pengembalian uang tidak menjadi alasan penghapus pidana.
Pihaknya mendorong Penyidik Kejaksaan Tinggi NTB layak dan berwenang menetapkan seluruh penerima uang sebagai tersangka apabila dua alat bukti telah terpenuhi.
Kemudian Penerima uang yang ingin mendapat keringanan dapat mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Kawal NTB mendukung penuntasan kasus kasus Korupsi di NTB apalagi nilai kerugiannya di atas 1 Miliar.
“Dan satu hal lagi menjadi tambahan terkait yang juga menjadi sorotan saat ini dugaan korupsi PPJ yang di tangani Kejari Praya , kasus Air Mancur Muhajirin dengan anggaran 3 Miliar rupiah yang masih belum di Proses Polda NTB serta kasus Kubah Masjid Agung yang juga mandek di APH dengan Nilai 5 Miliar Rupiah.”tutupnya.(Lu01)

